Hari ini, 38 tahun lampau, Presiden Amerika Serikat Richard Nixon harus mundur karena skandal politik paling memalukan dalam sejarah negara itu. Terbongkarnya kasus dengan sebutan Watergate ini membuat praktik politik dan jurnalisme di Negeri Paman Sam itu berubah drastis hingga sekarang, seperti dilaporkan harian the New York Times edisi 5 Juni 2005.
Kepala satuan pengamanan (satpam) Frank Wills, yang bertugas di Kompleks Perkantoran Watergate, Washington D.C, barangkali tidak mengira keberhasilannya menangkap lima maling pada dini hari 17 Juni 1972 bakal mempengaruhi masa depan Amerika. Kelima pelaku ternyata bukan pencuri biasa, melainkan anggota sayap politik Partai Republik yang hendak menyadap lawan-lawan mereka menjelang pemilihan presiden Negeri Adi Daya itu.
Di gedung Watergate, terdapat kantor pusat Partai Demokrat, rival kubu Republik. Polisi yang mencokok kelima orang itu juga langsung curiga. Mereka tidak terlihat seperti maling, karena membawa walkie-talkie, kamera kecil, dan alat penyadap. Salah satu tersangka, bernama Jim McCord, ternyata mantan pegawai Badan Intelijen Amerika (CIA).
Hanya saja, selama beberapa bulan kasus upaya penerobosan Kantor Pusat Demokrat ini menguap. Rakyat Amerika sedang dilanda euforia terpilihnya kembali Presiden Richard Nixon dari Partai Republik. Dia dikenal sebagai salah satu presiden bertangan besi dan tegas, terutama karena bersikeras mempertahankan pasukan Amerika di Vietnam.
Pada Januari 1973, publik mulai memperhatikan kembali kasus Watergate karena hakim John Sirica, selain menghukum tiga tersangka, menyatakan ada konspirasi politik menyelimuti upaya penyadapan itu.
Skandal ini kemudian mencuat setelah dua wartawan harian the Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein rutin melaporkan adanya dugaan keterlibatan Presiden Nixon. Informasi ini dibocorkan pejabat lingkaran dalam kekuasaan bernama samaran "Deep Throat".
Berdasarkan laporan investigatif itu, terkuak bahwa tim kampanye Nixon menyewa beberapa tenaga lepas untuk menyadap kubu lawan. Pencurian informasi untuk pemenangan pemilihan umum ini tidak hanya menimpa Partai Demokrat, namun juga banyak lembaga, termasuk kepolisian. Publik makin marah karena ketika Watergate mulai mencuat, muncul bukti kubu Nixon memaksa polisi dan jaksa menghentikan penyelidikan.
Bola panas pun bergulir, sampai akhirnya pada April 1974 Mahkamah Agung memaksa Nixon menyerahkan rekaman percakapan dirinya dengan penasihat politiknya di Gedung Putih. Kubu Demokrat pun langsung menggalang hak angket untuk memakzulkan presiden. Tidak diduga, puluhan anggota parlemen dari Partai Republik ikut mendukung upaya ini.
Tepat pada pagi hari 8 Agustus 1975, Nixon membacakan pengunduran diri disiarkan radio dan televisi nasional. Dia mengambil keputusan itu lantaran diberitahu para penasehatnya pemakzulan sudah tidak bisa dihindari.
Dia satu-satunya presiden aktif yang mundur akibat tekanan politik sepanjang sejarah berdirinya Amerika. Bahkan Presiden Andrew Johnson dan Bill Clinton yang dimakzulkan parlemen rendah tetap menjabat sampai akhir karena adanya lobi di tingkat senat.
Sejak Watergate sukses melengserkan Nixon, pemerintah Amerika memperbaiki undang-undang kampanye dan pemilihan umum. Kasus ini juga menjadi rujukan pakar hukum tata negara dari seluruh dunia soal cara parlemen memakzulkan presiden.
Dunia jurnalistik Amerika pun mendapatkan manfaat. Liputan jenis investigasi menjadi marak. Pemanfaatan anonim juga menjadi tren sejak kisah jurnalis Woodward membongkar Watergate dibukukan dengan judul All the President Men bahkan dibuat adaptasi filmnya. Sang pembocor informasi "Deep Throat" setelah 30 tahun kasus ini berlalu baru mengaku. Dia ternyata wakil kepala FBI, Mark Felt.