Kesemrawutan Alat Peraga Kampanye
Belakangan ini, saya merasa grogi ketika berjalan kaki di Jakarta. Pasalnya, bapak-bapak rupawan memandang saya dari berbagai penjuru: di trotoar, tiang listrik, batang pohon, struktur jembatan, atap halte, railing jembatan, muka gedung, mobil pribadi, juga di angkutan umum.
Tentu Anda tahu siapa mereka. Ya, para calon gubernur DKI Jakarta yang sudah mulai tebar pesona. Mereka memang sudah menjalankan invasinya menggunakan alat-alat peraga yang disebar ke berbagai sudut kota, padahal masa perang sebenarnya baru boleh dimulai pada tanggal 24 Juni sampai dengan 7 Juli.
Ada beberapa masalah dari alat-alat peraga tersebut.
Pertama, alat-alat peraga tersebut seharusnya belum boleh beredar saat ini masih masa "gencatan senjata". Namun, praktik mencuri start ini tampaknya sama sekali tidak mendapat perhatian dari panitia pemilu. Tidak ada teguran sama sekali.
Masalah kedua, jika menilik tata tertib KPUD (baca dalam format PDF di sini), alat-alat peraga tidak boleh berada di tempat-tempat fasilitas umum seperti tiang telepon, tiang listrik, dan pohon perindang jalan.
Adapun alat peraga yang ditempatkan pada tempat milik perseorangan atau badan swasta, harus mendapat izin tertulis pemilik tempat yang bersangkutan. Segala pemasangan tersebut juga harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, kelestarian tanaman, dan keindahan kota atau kawasan setempat.
Namun, Anda tahu sendiri bagaimana poster-poster mereka mengotori kota.
Yang terakhir adalah masalah selera, hal yang lebih personal. Semua alat peraga kampanye para kandidat, baik itu poster maupun stiker, yang beredar di ruang kota tampak sangat seragam. Hampir tidak ada kreativitas dari alat-alat peraga tersebut untuk bisa menyentuh hati pemilih. Foto wajah "mempelai" mendominasi hampir setengah dari bidang alat peraga.
Slogan kampanye kemudian mengikuti di bawah foto mereka, tidak lupa juga nomor urut dan nama pasangan. Jika kemudian dirasa masih lowong, ikon yang mewakili Jakarta, biasanya Monas, diselipkan di tengah kedua wajah.
Terlepas dari masalah-masalah tersebut, KPUD DKI Jakarta sendiri tidak mengatur hukuman yang cukup keras. Hukuman pelanggaran hanyalah peringatan tertulis dan penghentian kegiatan kampanye, yang artinya, panitia KPUD harus mencabut satu per satu poster, stiker dan alat peraga lainnya dari para calon gubernur. Tentu perlu usaha yang luar biasa, dan sedikit konyol.
Belakangan ini, saya merasa grogi ketika berjalan kaki di Jakarta. Pasalnya, bapak-bapak rupawan memandang saya dari berbagai penjuru: di trotoar, tiang listrik, batang pohon, struktur jembatan, atap halte, railing jembatan, muka gedung, mobil pribadi, juga di angkutan umum.
Tentu Anda tahu siapa mereka. Ya, para calon gubernur DKI Jakarta yang sudah mulai tebar pesona. Mereka memang sudah menjalankan invasinya menggunakan alat-alat peraga yang disebar ke berbagai sudut kota, padahal masa perang sebenarnya baru boleh dimulai pada tanggal 24 Juni sampai dengan 7 Juli.
Ada beberapa masalah dari alat-alat peraga tersebut.
Pertama, alat-alat peraga tersebut seharusnya belum boleh beredar saat ini masih masa "gencatan senjata". Namun, praktik mencuri start ini tampaknya sama sekali tidak mendapat perhatian dari panitia pemilu. Tidak ada teguran sama sekali.
Masalah kedua, jika menilik tata tertib KPUD (baca dalam format PDF di sini), alat-alat peraga tidak boleh berada di tempat-tempat fasilitas umum seperti tiang telepon, tiang listrik, dan pohon perindang jalan.
Adapun alat peraga yang ditempatkan pada tempat milik perseorangan atau badan swasta, harus mendapat izin tertulis pemilik tempat yang bersangkutan. Segala pemasangan tersebut juga harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, kelestarian tanaman, dan keindahan kota atau kawasan setempat.
Namun, Anda tahu sendiri bagaimana poster-poster mereka mengotori kota.
Yang terakhir adalah masalah selera, hal yang lebih personal. Semua alat peraga kampanye para kandidat, baik itu poster maupun stiker, yang beredar di ruang kota tampak sangat seragam. Hampir tidak ada kreativitas dari alat-alat peraga tersebut untuk bisa menyentuh hati pemilih. Foto wajah "mempelai" mendominasi hampir setengah dari bidang alat peraga.
Slogan kampanye kemudian mengikuti di bawah foto mereka, tidak lupa juga nomor urut dan nama pasangan. Jika kemudian dirasa masih lowong, ikon yang mewakili Jakarta, biasanya Monas, diselipkan di tengah kedua wajah.
Terlepas dari masalah-masalah tersebut, KPUD DKI Jakarta sendiri tidak mengatur hukuman yang cukup keras. Hukuman pelanggaran hanyalah peringatan tertulis dan penghentian kegiatan kampanye, yang artinya, panitia KPUD harus mencabut satu per satu poster, stiker dan alat peraga lainnya dari para calon gubernur. Tentu perlu usaha yang luar biasa, dan sedikit konyol.