Di era pemerintahan Orde Baru, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo sangat konsisten mengimbau pekerja media untuk menghindari peliputan yang berlebih tentang isu di seputar SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan).
Salah satu hasilnya media menghindari penggunaan istilah (pengusaha) China ataupun non-pribumi. Hasil lainnya, sikap pekerja media dalam melaporkan tentang apa dan bagaimana sepak terjang pengusaha Indonesia keturunan China, sangat hati-hati. Pekerja media kuatir dituduh punya perasaan rasialis.
Media paham dan setuju bahwa untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tak boleh ada kelompok masyarakat yang dikucilkan ataupun dimarjinalkan. Masyarakat Indonesia keturunan China, merupakan bagian dari kebhinekaan Indonesia. Hak-hak mereka sama dengan hak masyarakar Indonesia lainnya.
Pluralisme sudah harga mati dan final.
Maka tidak heran jika sejumlah konglomerat keturunan China makin hari makin berkibar kedigdayaan mereka di dunia bisnis, tanpa ada gangguan dari media yang kritis. Jadi himbauan tersebut memang cukup efektif serta konstruktif. Hingga di era pemerintahan Presiden SBY - himbaun itu masih cukup relevan.
Tetapi di balik itu, diam-diam pekerja media yang berpijak pada integritas dan profesionalisme, bukannya tak resah dan frustrasi. Bahkan terkadang jengkel dan sangat marah! Jengkel dan marah bukan karena masalah pribadi. Tetapi ada sikap dari beberapa, sekali lagi beberapa pengusaha keturunan China yang tidak peka dan bersikap resiprokal.
Betapa tidak! Sudah demikian kompromistisnya pekerja media profesional dalam menaati himbauan itu, dan ketaatan itu sudah berlangsung beberapa dekade. Tetapi di pihak lain, hal ini tidak diimbangi dengan sikap yang sesuai. Tidak jarang bermunculan prilaku yang tidak senonoh yang hanya menimbulkan kekesalan dan kecemburuan baru.
Lihat saja di era pemerintahan Orde Baru. Sejumlah pengusaha keturunan China membuat berbagai ulah merugikan negara dan bangsa Indonesia, tanpa merasa bersalah.
Eddi Tanzil di era awal 1990-an, membobol kas Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp1,5 triliun. Uang itu dibawa kabur ke luar negeri, tapi di negeri mana uang itu disimpan, tidak ada yang tahu. Yang pasti uang itu, jumlahnya sangat fantastis.
Kalau pembobolan itu disamakan dengan perampokan, maka apa yang dilakukan Eddi Tanzil merupakan salah satu perampokan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Yang pasti kalau uang itu dibawa ke luar negeri, tentu saja terlebih dahulu dikonversi ke mata uang dolar. Dan coba reka-reka berapa kira-kira nilainya?
Ketika pembobolan itu terjadi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih cukup tinggi- sekitar Rp1.500 per dollar. Sementara itu nilai tukar rupiah pada posisi sekarang sudah mengalami depresiasi lebih dari 600%. Ini berarti dana yang dibawa kabur Eddi Tanzil tersebut jika dinilai pada 2012 ini, sudah setara dengan Rp9 triliun, lebih besar dari skandal Bank Century (Rp6,7 triliun)
Di ujung tumbangnya Orde Baru, sejumlah pengusaha keturunan China, yang juga pemilik bank, banyak mendapatkan BLBI (Bantuan Likwiditas Bank Indonesia). Mengingat hampir semua bank swasta milik pengusaha keturunan China maka mereka yang mendapat BLBI sekaligus paling banyak menikmati fasilitas mewah tersebut adalah kaum keturunan China tersebut.
Yang pasti BLBI tidak kurang dari Rp100 triliun. Ironisnya para pengusaha China yang menikmati BLBI itu, banyak di antara mereka yang kemudian melarikan diri ke luar negeri.
Pasca-kejatuhan rezim Orde Baru, muncul lagi pengusaha China yang membawa kabur uang dalam jumlah yang luar biasa besarnya. Ada Hendra Rahardja bekas pemilik Bank Harapan Santosa yang kabur ke Australia setelah menerima uang dari Bank Indonesia lebih dari Rp1 triliun.
Kemudian ada Sanyoto Tanuwidjaya pemilik PT Great River, produsen pakaian bermerek papan atas. Sanyoto meninggalkan Indonesia setelah menerima penambahan kredit dari bank pemerintah. Yang terbaru tapi sebetulnya merupakan isu lama adalah Djoko Chandra.
Berawal dari kasus cessie Bank Bali, Djoko berhasil meraup tidak kurang dari Rp450 miliar. Ketika hendak ditahan Djoko kabur ke luar negeri dan kini dikabarkan menjadi warga negara Papua Nugini.
Di masa reformasi budaya dan modus operandi pengusaha keturunan China sudah berbeda. Mereka tidak lagi berkonsentrasi pada bisnis semata. Melainkan masuk ke dalam sistem. Misalnya menjadi anggota partai. Mereka masuk ke dalam partai politik bukan karena ingin menjadi pemimpin partai apalagi menjadi politikus sejati. Partai hanya sebagai media dan batu loncatan.
Sebut saja apa yang dilakukan oleh pasangan suami isteri Murdaya dan Hartati Poo, pemilik Berca Group. Pada Pemilu 2004, sang suami mendaftar sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri. Sementara sang isteri merapat ke Partai Demokrat besutan SBY.
Banyak analis dan pengamat yang sebetulnya melihat manuver suami isteri itu sebagai sesuatu yang janggal dalam budaya politik. Akan tetapi berhubung masing-masing pimpinan partainya yakni Megawati dan SBY bersikap akomodatif maka akhirnya realita itu diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Terakhir Murdaya Poo, sang suami selaku bendahara partai, dipecat oleh PDI-P. Sebab dalam penilaian PDI-P, Poo lebih banyak mendampingi Hartati yang nota bene salah seorang pendukung utama Partai Demokrat.
Yang terbaru Hartarti diperiksa KPK karena tuduhan menyogok. Yang dia sogok Bupati Buol, Sulawesi Tengah. Bupati Buol ini merupakan kader Partai Golkar. Hartarti menyogoknya untuk mendapatkan izin lahan perkebunan. Ceritanya tidak sebatas itu.
Ada lagi pengusaha keturunan China yang juga diperiksa KPK. Dia adalah Arthalytha Suryani alias Ayin. Cerita Ayin mendapat sorotan sebab pernah dipenjara karena tertangkap basah hendak menyogok seorang Jaksa.
Tidak heran jika berita atas perilaku para pengusaha keturunan China, diam-diam menjadi pembahasan di kalangan masyarakat. Sama halnya ketika orang banyak mulai membahas tentang perilaku Hary Tanoesoedibjo, pengusaha muda yang kini menguasai jaringan televisi, radio dan media cetak. Hary disorot karena eksekutif dari salah satu perusahaannya juga disebut-sebut terlibat dalam kasus pajak.
Esensi dari ceritera ini adalah para pengusaha keturunan China, seperti yang disebutkan di atas - jika tidak dikontrol, diawasi bakal berprilaku seenaknya. Mereka bisa lupa diri. Diamnya masyarakat karena stigma soal SARA, mereka maksimalkan.
Seperti hanya Hary Tanoe misalnya, ada yang beranggapan, pengusaha sukses ini boleh jadi semakin percaya diri karena hampir semua bisnis yang ditanganinya berhasil. Ia berhasil membangun kerajaan media dalam waktu yang rrelatif sangat singkat. Kurang dari 10 tahun.
Semua pihak yang mencoba menghadangnya, berhasil ia lewati. Mulai dari Japto Suryosumarno, Mbak Tutut sampai dengan pejabat pemerintah apakah di Kementerian Hukum dan HAM atau Kejaksaan Agung. Bias dari perilaku sosok-sosok di atas, tanpa sengaja jatuh ke Cawagub DKI, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
Ada kekhawatiran, Ahok juga memiliki budaya yang sama dengan sosok yang disebutkan sebelumnya. Yaitu ketika mereka memiliki kewenangan dan kekuasaan, mereka akan melakukan apapun demi kepentingan pribadi. Masa bodoh dengan urusan partai, masyarakat apalagi negara.
Dalam konteks menghormati SARA, mohon maaf kalau tulisan ini terkesan menyamaratakan semua orang Indonesia keturunan China.*